Civilian Deaths by Police in Indonesia (2000–2022)

Saya akan mencari dan menyusun daftar kasus warga sipil yang menjadi korban tewas akibat tindakan aparat Kepolisian di Indonesia sejak tahun 2000. Informasi ini akan mencakup kasus-kasus yang telah dilaporkan di berita online dan arsip, serta laporan dari organisasi hak asasi manusia jika tersedia.Saya akan kembali dengan hasilnya segera setelah penelitian selesai.

Kasus Warga Sipil Tewas Akibat Tindakan Aparat Kepolisian (2000–2022)

Sejak tahun 2000, telah terjadi sejumlah insiden di Indonesia di mana warga sipil meninggal dunia akibat tindakan kekerasan atau kelalaian aparat kepolisian. Di bawah ini disusun beberapa kasus menonjol beserta nama korban (jika tersedia), tanggal dan lokasi kejadian, kronologi singkat, serta respons pemerintah atau kepolisian terhadap masing-masing kasus.

Tragedi Abepura (7 Desember 2000, Abepura – Papua)

Kronologi: Pada dini hari 7 Desember 2000, Mapolsek Abepura di Jayapura diserang oleh sekelompok orang tak dikenal. Penyerangan ini menewaskan seorang anggota Polri (Bripka Petrus Eppa)www.neodetik.news. Sebagai tindakan balasan, aparat Brimob Polda Papua melakukan penyisiran dan penangkapan terhadap para mahasiswa Papua di asrama sekitar Abepura. Dalam operasi represif tersebut, tiga warga sipil Papua tewas (satu orang ditembak mati di tempat dan dua orang meninggal akibat penyiksaan dalam tahanan)www.neodetik.newswww.neodetik.news. Selain korban tewas, setidaknya 22 orang ditangkap dan mengalami penyiksaan**www.neodetik.newswww.neodetik.news.

Respons: Komnas HAM menyelidiki peristiwa ini sebagai dugaan pelanggaran HAM berat (karena terdapat unsur penyerangan terhadap penduduk sipil) dan kasusnya dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Dua perwira polisi ditetapkan sebagai terdakwa, yakni Brigjen Pol. Johny Wainal Usman (Kapolda Papua saat itu) dan Kombes Pol. Daud Sihombingjubi.id. Persidangan berlangsung di Pengadilan HAM Makassar tahun 2005, namun kedua terdakwa divonis bebas pada September 2005jubi.id. Putusan ini mengecewakan keluarga korban karena tidak ada pelaku yang dihukum, dan hingga kini pemerintah belum memberikan reparasi memadai kepada para korban. Kasus Abepura menjadi contoh awal impunitas atas kekerasan aparat di era pasca-Reformasijubi.id.

Peristiwa Wasior (13 Juni 2001, Wasior – Papua Barat)

Kronologi: Pada 13 Juni 2001, terjadi penyerangan oleh kelompok bersenjata yang diduga terkait Organisasi Papua Merdeka (OPM) di basecamp perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa di Distrik Wasior, Teluk Wondama. Serangan ini menewaskan 5 anggota Brimob Polda Papua dan 1 warga sipil penjaga kampkontras.org. Sebagai respon, aparat gabungan Polri (termasuk Brimob) melakukan operasi pencarian pelaku di Desa Wondiboi dan desa-desa sekitar Wasior. Operasi tersebut berlangsung berbulan-bulan dan disertai kekerasan terhadap penduduk setempat. Penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM Papua menemukan bahwa selama operasi ini setidaknya 4 warga sipil tewas ditembak, 39 orang disiksa, 4 orang dihilangkan secara paksa, dan 1 orang diperkosa oleh oknum kepolisiankontras.org. Peristiwa ini dikenal sebagai “Wasior Berdarah” dan dianggap sebagai pelanggaran HAM berat terhadap penduduk sipil Papuakontras.orgkontras.org.

Respons: Komnas HAM RI telah menyelesaikan penyelidikan pro justicia atas kasus Wasior pada tahun 2003 dan menyerahkan berkasnya kepada Kejaksaan Agungkontras.org. Namun, hingga lebih dari 20 tahun berlalu, kasus ini belum pernah dibawa ke pengadilan. Berkas hasil penyelidikan Komnas HAM bolak-balik dikembalikan oleh Kejaksaan Agung dengan alasan belum lengkap secara formil maupun materiilkontras.org. Akibatnya, tidak ada satu pun pelaku yang diadili, dan korban serta keluarga korban belum mendapat keadilan. Berlarut-larutnya penanganan kasus Wasior dikritik luas sebagai bukti praktik impunitas – negara dinilai gagal menuntaskan pelanggaran HAM berat di Papua secara tuntaskontras.org.

Bentrok Bima di Pelabuhan Sape (24 Desember 2011, Bima – Nusa Tenggara Barat)

Kronologi: Pada akhir 2011, ribuan warga Kecamatan Lambu, Bima memprotes izin pertambangan emas yang dikeluarkan pemerintah daerah. Massa menduduki dan memblokade Pelabuhan Sape sejak 19 Desember 2011. Pada 24 Desember 2011 sekitar pukul 07.00 WITA, aparat Polres Bima yang didukung Brimob Polda NTB melakukan pembubaran paksa atas aksi blokade tersebutmyaminpancasetia.wordpress.com. Aparat menembakkan peluru tajam ke arah kerumunan massa. Tindakan represif ini menimbulkan korban jiwa dan luka: 3 warga sipil tewas tertembak dan sekitar 30 orang luka-luka akibat tembakan, termasuk 10 anak di bawah umurbabel.antaranews.combabel.antaranews.com. Komnas HAM mengidentifikasi para korban tewas bernama Syaiful alias Fu (17 tahun), Arif Rahman (18 tahun), dan Syarifudin (46 tahun)babel.antaranews.combabel.antaranews.com. Temuan Komnas HAM menyebutkan bahwa dua korban remaja (Syaiful dan Arif) tertembak mati di Desa Sari, sekitar 700 meter dari Pelabuhan Sape – Syaiful tewas saat berusaha menolong Arif yang lebih dulu tertembakbabel.antaranews.com. Selain itu, puluhan orang mengalami luka tembak maupun luka akibat pemukulan oleh aparat (sejumlah korban terluka di kepala karena dihantam gagang senjata)babel.antaranews.com.

Respons: Kasus kekerasan di Bima ini memicu kecaman luas dari masyarakat dan organisasi HAM. Komnas HAM melakukan investigasi lapangan dan menyimpulkan bahwa aparat kepolisian bertindak berlebihan serta melanggar prosedur tetapbabel.antaranews.com. Dalam rekaman video yang diperoleh Komnas HAM, terlihat oknum polisi berpakaian preman meninju dan menendang warga yang sudah ditangkapbabel.antaranews.com. Komnas HAM mengindikasikan telah terjadi pelanggaran HAM dan mendesak penegakan hukum terhadap pelaku. Sebagai tindak lanjut, Polri sempat mencopot Kapolres Bima pasca kejadian (berdasarkan pemberitaan lokal), namun tidak ada proses peradilan pidana terhadap anggota yang menembak warga. Pihak Kepolisian RI berdalih telah berupaya persuasif sebelum bentrok dan terpaksa bertindak tegas karena blokade mengganggu fasilitas umummyaminpancasetia.wordpress.com. Meski demikian, hingga kini tidak dilaporkan adanya anggota polisi yang dihukum secara pidana terkait Tragedi Bima. Kasus ini menonjolkan masalah akuntabilitas – meski Komnas HAM telah mengungkap fakta pelanggaran, penyelesaiannya hanya sebatas sanksi internal dan rekomendasi tanpa penuntutan di pengadilan.

Kerusuhan 21–22 Mei 2019 (Jakarta Pusat)

Kronologi: Pada 21–22 Mei 2019, unjuk rasa massal digelar di Jakarta terkait penolakan hasil Pemilu 2019. Aksi yang terpusat di sekitar Gedung Bawaslu, Thamrin, merembet menjadi kerusuhan di beberapa titik (termasuk kawasan Tanah Abang, Petamburan, dan Slipi). Aparat kepolisian antihuru-hara terlibat bentrok dengan massa sepanjang malam. Akibat kerusuhan dua hari itu, 9 orang warga sipil tewas dan ratusan lainnya luka-lukatirto.idtirto.id. Para korban tewas seluruhnya adalah sipil (mayoritas pemuda berusia belasan hingga 30-an tahun). Pihak kepolisian mengklaim kesembilan korban merupakan “perusuh”, namun tidak mengungkap identitas dan detail kematiannya secara terbuka pada awalnyatirto.idtirto.id. Belakangan, identitas korban terungkap antara lain: Adam Nooryan (19 tahun), Abdul Aziz (27), Bachtiar Alamsyah (22), Farhan Syafero (31), Harun Rasyid (15), Reyhan Fajari (16), Sandro (31), dan Widianto Rizky (17)tirto.id. Penyebab kematian bervariasi; hasil autopsi menunjukkan setidaknya 4 korban tewas akibat peluru tajam (tembakan senjata api)regional.kontan.co.id, sementara lainnya diduga akibat benda tumpul atau sebab lain. Contohnya, korban termuda Harun Rasyid (15) meninggal karena luka tembak di bagian tubuh, sedangkan Muhammad Reza (23, korban ke-9 yang baru teridentifikasi) meninggal akibat benturan benda tumpul di kepalatirto.idtirto.id.

Respons: Pemerintah dan Polri membentuk tim investigasi gabungan pasca kerusuhan. Polri mengakui sebagian korban tewas terkena peluru tajam, namun menyatakan bahwa aparat kepolisian di lapangan tidak dibekali peluru tajam, sehingga muncul dugaan adanya aktor ketiga bersenjataregional.kontan.co.id. Investigasi resmi mengalami kendala dan hasilnya dinilai tidak tuntas oleh banyak pihak. Hingga satu bulan setelah kejadian, polisi belum mengumumkan tersangka penembakan atau pelaku utama kerusuhantirto.id. Komnas HAM turut melakukan pemantauan dan pada Oktober 2019 melaporkan bahwa akses keadilan bagi korban sangat lemah – negara gagal mengungkap siapa pelaku penembakan maupun memberikan kejelasan kasustirto.id. Sampai saat ini, tidak ada anggota aparat yang dituntut pidana terkait tewasnya 9 warga dalam peristiwa 21–22 Mei tersebut. Kasus ini masih menyisakan pertanyaan tentang akuntabilitas; keluarga korban dan pegiat HAM terus menagih penuntasan, sementara pemerintah beralasan minimnya bukti balistik dan keberadaan “penembak misterius” sebagai hambatan utamatirto.idtirto.id.

Penembakan 6 Laskar FPI (7 Desember 2020, Tol Jakarta-Cikampek KM 50)

Kronologi: Pada 7 Desember 2020 dini hari, terjadi insiden penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat kepolisian Polda Metro Jaya di ruas Tol Jakarta-Cikampek KM 50 (wilayah Karawang)www.kompas.tv. Keenam korban merupakan anggota laskar pengawal Habib Rizieq Shihab yang saat itu sedang dalam perjalanan. Versi kepolisian menyatakan bahwa awalnya dua laskar FPI tewas dalam baku tembak di jalan tol, karena mereka menyerang petugas dengan senjata api rakitan dan senjata tajam. Empat laskar lainnya sempat ditangkap hidup-hidup, namun kemudian ditemukan tewas ditembak di dalam mobil polisi dalam perjalanan menuju Polda Metro Jayawww.kompas.tv. Aparat mengklaim keempatnya ditembak karena “melawan dan membahayakan petugas” saat hendak dibawa ke markaswww.kompas.tv. Keenam korban tewas di antaranya: Luthfi Hakim (25 tahun), Andi Oktiawan (33), Muhammad Reza (20), Ahmad Sofyan alias Ambon (26), Faiz Ahmad Syukur (22), dan Muhammad Suci Khadavi (21)www.antaranews.com. Peristiwa ini menyita perhatian nasional karena diduga merupakan extrajudicial killing (pembunuhan di luar proses hukum).

Respons: Komnas HAM RI segera membentuk tim penyelidik independen. Hasil penyelidikan Komnas HAM (Januari 2021) menyimpulkan bahwa penembakan terhadap empat laskar FPI yang sudah ditahan merupakan bentuk pelanggaran HAM – berupa unlawful killing oleh aparatwww.kompas.tv. Komnas HAM merekomendasikan kasus ini dibawa ke proses peradilan pidana. Menindaklanjuti rekomendasi tersebut, Polri memproses hukum tiga anggota yang terlibat, namun satu orang gugur (meninggal dunia) sebelum kasus bergulir sehingga dua anggota Polri yang menjadi terdakwa. Kedua polisi (Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella) disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dakwaan pembunuhan pada akhir 2021. Pada Maret 2022, majelis hakim PN Jaksel memutus vonis lepas bagi kedua terdakwa, artinya perbuatan menembak diakui terjadi namun dianggap sebagai pembelaan diri yang sah sehingga para terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan pidanawww.antaranews.comwww.antaranews.com. Hakim menilai para polisi beralasan membela diri karena merasa terancam, sehingga kesalahan mereka dimaafkanwww.antaranews.com. Putusan ini effectively membebaskan kedua polisi tersebut dari hukuman, bahkan hak dan martabat mereka dipulihkan oleh pengadilanwww.antaranews.com. Jaksa mengajukan kasasi, namun Mahkamah Agung menguatkan putusan bebas tersebut pada September 2022 (kasasi ditolak)www.cnnindonesia.com. Dengan demikian, tidak ada anggota polisi yang dihukum atas tewasnya 6 laskar FPI, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai kemunduran penegakan HAM. Kasus KM 50 ini mendorong seruan reformasi di tubuh Polri dan penegakan transparansi, mengingat tekanan publik yang luas dan kekhawatiran terulangnya unlawful killing di luar proses hukumwww.kompas.tvwww.antaranews.com.

Tragedi Kanjuruhan (1 Oktober 2022, Malang – Jawa Timur)

Kronologi: Tragedi Kanjuruhan 2022 menjadi salah satu bencana stadion terburuk dalam sejarah sepak bola, dengan 135 orang tewaskontras.org. Insiden terjadi usai pertandingan Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada malam 1 Oktober 2022. Kekalahan Arema FC memicu aksi turun ke lapangan oleh sejumlah suporter. Aparat kepolisian melakukan pengendalian massa dengan cara menembakkan gas air mata ke arah tribune penontonkontras.org. Tembakan gas air mata di dalam stadion (yang tertutup dan penuh sesak) menyebabkan kepanikan hebat – ribuan penonton berdesakan mencari jalan keluar. Banyak pintu gerbang stadion yang saat itu tertutup atau terlalu sempit, sehingga penonton terhimpit dan terinjak-injak. Akibatnya, ratusan korban berjatuhan: 135 orang meninggal dunia (termasuk wanita dan anak-anak) dan sekitar 583 orang luka-lukaid.wikipedia.orgkontras.org. Penyebab utama kematian adalah sesak napas dan trauma akibat berdesakan. Temuan Tim Investigasi mencatat penggunaan gas air mata menjadi faktor kunci pemicu kepanikan yang mematikan, di mana tindakan itu bertentangan dengan protap FIFA yang melarang gas air mata untuk pengamanan dalam stadion.

Respons: Tragedi Kanjuruhan memicu reaksi cepat dari pemerintah. Kapolri membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dipimpin oleh Menko Polhukam. Dari investigasi internal dan TGIPF, ditetapkan 6 orang tersangka pada Oktober 2022kontras.org. Enam tersangka itu terdiri dari 3 anggota Polri (termasuk AKP Achmadi dan Kompol Wahyu, yang memerintahkan penembakan gas air matawww.suara.comwww.suara.com) serta 3 sipil (panitia pelaksana pertandingan dan petugas keamanan Arema FC). Berkas perkara kelima tersangka (selain satu tersangka sipil yang masih di bawah umur) dinyatakan lengkap (P-21) dan persidangan digelar di PN Surabaya mulai Januari 2023kontras.org. Proses hukum ini disorot tajam oleh publik. Pada Maret 2023, putusan pengadilan tingkat pertama sangat ringan: dua perwira polisi (AKP Bambang Sidik dan Kompol Wahyu) divonis bebas oleh PN Surabaya, sedangkan satu perwira polisi lainnya (AKP Hasdarmawan) divonis 1 tahun 6 bulan penjarawww.tempo.co. Dua terdakwa dari panitia Arema (Abdul Haris dan Suko Sutrisno) juga dijatuhi hukuman ringan (masing-masing 1,5 tahun dan 1 tahun penjara)www.cnnindonesia.com. Vonis yang jauh dari ekspektasi ini menuai kekecewaan mendalam dari keluarga korban dan masyarakat luas, mengingat jumlah korban jiwa yang sangat besar. Jaksa kemudian mengajukan banding hingga kasasi. Agustus 2023, Mahkamah Agung membatalkan vonis bebas dua polisi tadi dan menjatuhkan hukuman penjara – masing-masing 2 tahun untuk AKP Bambang dan 2,5 tahun untuk Kompol Wahyuwww.suara.com. Meski hukuman tersebut sedikit lebih berat, banyak pihak menilai pertanggungjawaban hukum atas Tragedi Kanjuruhan masih tidak sebanding dengan konsekuensi perbuatannya (135 nyawa hilang)www.benarnews.orgwww.tempo.co. Peristiwa ini menambah urgensi dilakukannya reformasi menyeluruh dalam standar pengamanan massa oleh Polri serta peningkatan akuntabilitas aparat di lapangan, agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan.

Sumber: Laporan media, temuan Komnas HAM, dan siaran pers organisasi hak asasi manusia sebagaimana dicantumkan pada referensi di ataswww.neodetik.newskontras.orgbabel.antaranews.comtirto.idwww.kompas.tvkontras.org. Setiap kasus di atas menunjukkan pola bahwa tanpa akuntabilitas yang tegas, kekerasan oleh aparat berpotensi berulang. Pemerintah dan Polri kerap menjanjikan evaluasi dan penindakan, namun dalam banyak kasus penegakan hukum terhadap pelaku masih lemah. Rentetan insiden sejak 2000 ini mendorong desakan dari berbagai lembaga (Komnas HAM, KontraS, YLBHI, Amnesty International) agar reformasi institusional Polri segera dilakukan, demi melindungi hak hidup dan keamanan warga sipil di Indonesiaeksposkaltim.combabel.antaranews.com.